Hi guys, beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk ikutan webinar yang membahas tentang teknik pewarnaan alami menggunakan bahan alam dari tumbuhan.
Pewarnaan alami seperti ini tentu direkomendasikan karena ramah dan tidak merusak lingkungan. Secara, ini hanya pakai dedaunan gitu lho, jadi gak merusak alam dan berkelanjutan.
Untuk webinar ini mendatangkan dua narasumber yaitu Kak Magareta Mala dari Desa Sadap, Pontianak, Kalimantan Barat untuk Komunitas Tenun Endo Segado. Dan Kak Novi dari Cinta Bumi Artisant dari Ubud, Bali.
Dan apa yang mereka lakukan itu keren banget dan hasilnya pun menarik walaupun masih tradisional. Dan tentu saja layak jual pula. Oke kita bahas satu persatu ya.
1. Komunitas Tenun Endo Segado
Di Komunitas Tenun Endo Segado yang diwakili oleh Kak Magareta Mala di Desa Sadap ini, sudah dilakukan oleh suku dayak Iban sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Kain tenun tersebut berasal dari lembaran-lembaran benang yang memanfaatkan pewarna alami seperti tumbuhan yang ada di hutan dan kebun milik masyarakat.

Sayangnya sekarang ini banyak anak muda khususnya yang tinggal di desa Sadap, tidak tahu menahu akan tradisi tenun tersebut.
Oleh karenanya, kak Magaretha Mala merasa terpanggil untuk mempelajari kembali dan mengajarkan skill menenun ini kepada anak muda ataupun siapa saja yang ingin belajar menenun.
Karena dengan menenun berarti turut berperan dalam melestarikan nilai luhur budaya dan tradisi dari suku Dayak Iban.
Baca juga : Mengulik 3 Inovasi Lingkungan dari 3 Orang Muda untuk Kelestarian Bumi
Dengan menenun juga berarti sebagai bentuk kontribusi terhadap konservasi dari tumbuhan pewarna alam dan melindungi keanekaragaman hayati lainnya. Serta dapat mencegah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pewarna sintetis pakaian.
Karena saat ini banyak pengrajin yang menggunakan jalur cepat menggunakan pewarna sintetis yang tidak ramah lingkungan.
Selain belajar menenun dari inai-inai atau Ibu-Ibu desa Sadap, kak Magaretha juga mengikuti pelatihan seperti :
- workshop dan menggali tradisi mewarnai dengan bahan alami tenun ikat Suku DayaK Iban.
- Kemudian pelatihan peningkatan kualitas kain tenun, pewarnaan benang, dan pengembangan kerajinan berbahan dasar kain serta cara pemasarannya.
Dalam proses menenun ini, ada tahap yang bernama proses Nakar atau Perminyakan.
Proses Nakar atau Perminyakan adalah proses pemberian protein pada benang dengan tujuan agar kain dapat mengikat warna supaya warna lebih awet dan tahan lama.

Untuk bahan-bahan Nakar ini, dulunya masih menggunakan bahan hewani seperti lemak labi-labi, lemak ular atau ikan, buah kelapa busuk, buah jelemuk, buah kelampai, kedondong, buah kepayang, kayu pohon jangau, lemak ayam, biji-bijian atau bunga-bungaat.
Namun proses Nakar saat ini sudah tidak lagi menggunakan hewani karena sulit didapat, dan menggantinya dengan tumbuhan. Berikut prosesi nakar langkah demi langkah. Geser gambar ya.
Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam proses Nakar, misalnya seperti :
1. Proses nakar tidak boleh diakukan saat ada orang meninggal karena benang menjadi cepat rapuh atau putus
2. Yang melakukan pencampuran ramuan tersebut haruslah orang yang sudah berumur dengan kisaran lebih dari 60 tahun.
3. Upacara nakar tidak boleh dilakukan di dalam rumah, harus di luar rumah
4. Perempuan yang sedang haid atau hamil juga tidak boleh melakukan prosesi nakar.
5. Benang yang sudah melewati proses nakar harus dimasukkan ke dalam rumah betang dan dijaga sepanjang malam. Harus ada yang jaga.
Baca Juga : 11 Alternatif Kemasan Sekali Pakai Pengganti Plastik, Pilih yang Mana?
Saat melakukan penjagaan, mereka melakukannya sambil bermain musik tradisional, melakukan nyanyian tradisional, dan tidak boleh pergi sampai hari berikutnya.
Hal unik dari kain nakar ini adalah kain ini tidak boleh disebut dengan membeli atau membelinya dengan uang, saat ada orang yang ingin memilikinya. Namun dengan “mengadopsi”.
Istilah ini digunakan karena kain ini memiliki banyak proses dan cerita di dalamnya. Sehingga nantinya pemilik bukan hanya sekedar memiliki saja, namun mengerti tentang nilai sejarah dan filosofi di dalamnya.
Jenis kain tenun yang sering dibuat oleh Suku Dayak Iban adalah pile, songket, sidah, dan pilih. Motifnya juga bermacam-macam dan teknik yang berbeda-beda pula.
Proses menenun ini biasanya dilakukan pas siang hari atau malam hari.
Ada 29 jenis tumbuhan dan dimanfaatkan masyarkat untuk pewarnaan, seperti rengat akar, rengat padi, kepapak, labab, engkerbai, mengkudu, sibau, durian, tengkawang, buah pinang, kemunting, pepaya, dll
Di dalam proses penenunan ini, kebun etnobotani cukup berperan andil karena dari kebun inilah berbagai koleksi tanaman pewarnaan itu berasal. Terdapat sekitar 160 individu tanaman yang ada di kebun ini. Seperti contoh
Pewarna alam : rengat akar, rengat padi, mengkudu atau pace, belian, dll.
Tanaman obat : pasak bumi, langsat, dan tengkawang
Bahan kerajinan : bemban, pandan, dan bambu
Buah-buahan : durian, langsat, cempedak, nangka, empakan.
Bumbu masak : daun tubuk dan salam
Yang lainnya seperti aren, karet, kayu ulin, meranti merah, dll.
2. Mengenal pewarnaan alami dari Cinta Bumi Artisants
Teknik pewarnaan alami yang kedua ini dikenalkan oleh Kak Novita dari Cinta Bumi Artisant yang berlokasi di Ubud, Bali.
Jadi di sini, ada banyak karya berupa pakaian, tas, shall atau jenis kain lainnya dimana dalam pewarnaannya menggunakan pewarna alam dari tumbuhan.
Baca Juga : Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Upaya Mencegah Perubahan Iklim #SahkanRUUMasyarakatAdat
Di bawah Ini adalah foto ina-ina atau Ibu-Ibu di Lembah Bada Sulawesi Tengah, yang sedang mewarnai kain dengan daun jati. Kainnya sendiri dibuat dari kulit kayu, dan pewarnaannya menggunakan bunga mitir dan daun jati kering.

Karya lain dari Cinta Bumi Artisant seperti scarf/shall, kalung dari limbah kulit kayu dari sisa potongan kain produksi pakaian, tas kain kulit kayu, dan proses pewarnaannya dari kulit akar madu, tenun kapas, dan secang. Lihat gambar di bawah.

Di atas adalah beberapa karya dari Cinta Bumi Artisant. Ada shall yang dilipat, kalung, dan tas. Oh ya, pewarnaan juga ada yang dari daun kelor, lihat gambar di bawah.

Contoh pewarna alami lainnya yaitu dari kulit bawang merah yang menghasilkan kuning keemasan.
Kalau sebelah kanan dari biji alpukat untuk warna pink. Kalau di ubud bali ada banyak restoran vegan, sehingga mudah mendapatkan bahan pewarna alami seperti ini.

Intinya pewarnaan yang dipakai di cinta bumi artisant itu dari alam karena mengusung konspe sustainable fashion.
Ini adalah contoh pakaian bekas yang didapat dari para turis atau traveler yang enggan memakai kembali pakaian, yang desain dan diwarnai kembali dengan pewarna alam.

Jadi di Bali ada second hand shop dimana para turis atau traveller yang enggan memakai kembali, dan oleh owner tokonya Hasil penjualannya digunakan untuk membantu para penderita penyakit kraniofacial atau yang rahangnya terbuka.
Nah, cinta bumi artisant sering cari disana karena kainnya masih cukup bagus, dan diecoprint dengan pewarna dedauan seperti daun jambu atau ecaliptus. Hasilnya menarik sekali, bukan?

Di bawah ini adalah totebag yang diwarnai dengan bunga kumitir.

Jadi kesimpulannya, teknik pewarnaan alami menggunakan bahan dari tumbuhan menjadi alternatif ramah lingkungan yang diterapkan oleh dua komunitas, Tenun Endo Segado dan Cinta Bumi Artisant.
Komunitas Tenun Endo Segado di Desa Sadap, Kalimantan Barat, melestarikan tradisi menenun suku Dayak Iban dengan menggunakan pewarna alami dari tumbuhan. Mereka menerapkan proses tradisional seperti Nakar (Perminyakan) untuk mengikat warna agar lebih tahan lama. Selain mempertahankan budaya lokal, komunitas ini juga berkontribusi pada konservasi tumbuhan pewarna alami dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat pewarna sintetis.
Cinta Bumi Artisant di Ubud, Bali, mengusung konsep sustainable fashion dengan memanfaatkan pewarna alami seperti daun jati, kulit bawang merah, dan biji alpukat dalam proses pewarnaan kain. Mereka juga mendaur ulang pakaian bekas dari turis, mengubahnya menjadi karya baru yang lebih bernilai.
Kedua komunitas ini membuktikan bahwa pewarnaan alami tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga berdampak positif terhadap lingkungan dan keberlanjutan.
Aku baru tahu kalau biji alpukat bisa dipakai pewarna alami lho. Dan yang bikin aku kagum itu bagaimana para inovator ini bisa mengajak para komunitas adat untuk berdaya bersama di tengah gempuran industri tekstil. 🙂
Udah mempertahankan tradisi, ke lingkungan juga menjaganya. Seneng banget bisa ketemu komunitas ini di zoom kemarin. Bagian ecoprinttuh bisa banget diaplikasikan di rumah masing-masing. Bahan warna juga ada disekitar juga
Semakin bermunculan komunitas di daerah yang memanfaatkan tradisinya, keren ini, apalagi diinisiasi oleh anak muda ya….semoga menular ke daerah lain juga ya kang Amir.
BTW di Sukabumi juga masyarakat membuat Batik Ciletuh difasilitasi oleh salah satu BUMN membuat bahan pewarnaan alami,
Bahan pewarna alami pantas hasilnya terlihat lembut, membumi dan anggun ya, secara bahannya juga memang banyak dari hasil bumi.
Hasil tenun yang jadi ciri khas daerah sekaligus skill hidup bagi penduduk di sana ini ikut memajukan nama Indonesia di kancah nasional bahkan internasional juga ya kedepannya
Karyanya keren-keran banget jadi pengen beli deh. Warnanya bagus modelnya juga bagus-bagus.
Menarik banget bahas soal pewarnaan alami! Jadi lebih sadar pentingnya bahan alami untuk kesehatan dan lingkungan. Mantap artikelnya!
Keren banget ya mereka yang memilih untuk berkarya sekaligus berbisnis industri fashion yang ramah lingkungan, benar-benar memperhatikan pemanfaatan bahan alam dan memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Semoga semakin banyak pelaku bisnis industri fashion yang seperti itu ^_^.
Wah ilmu baru lagi ni Kang, kalau lemak hewani itu bisa jadi bahan pewarnaan alami untuk kain.
Indonesia emang kaya ya, ga hanya SDA tp SDMnya pun berilmu luar biasa dlm memanfaatkan lingkungan dgn baik sejak dulu
Ga nyangka produk unik ini berasal dr tenun ikat hasil pewarnaan alami. Berasa kayak hasil mesin kalo dilihat sekilas. Produk smcm ini yg patut dilestarikan, bahkan dipasarkan sampai luar negeri khususnya Eropa yang lbh menyukai produk ramah lingkungan.
Smg produk tenun ikat dari Dayak Iban ini mkn mendunia seiring banyak perajin yg belajar demi melestarikan budaya. Ahhh jd kangen Ubud. Emg turis Eropa-nya bejibun sih di Bali Utara.
Pewarnaan boleh natural, tapi hasilnya gak kalah sama pewarna kimia. Keren!
Kain-kain dengan pewarna alami mengajarkan kita untuk menghargai apa yang diberikan alam kepada kita. Makanya kita bisa sayang banget ke kainnya. Karena prosesnya juga nggak main-main.
Kalau mau bikin pewarna alami begitu berarti tanamannya direbus dulu ya, mbak buat mengeluarkan warnanya? Baru tahu diriku kulit bawang juga bisa jadi pewarna pakaian
Kalau mau bikin pewarna alami begitu berarti tanamannya direbus dulu ya, bang buat mengeluarkan warnanya? Baru tahu diriku kulit bawang juga bisa jadi pewarna pakaian
Pewarnaan alami ini selain ramah lingkungan juga tahan lama ya..
Warnanya gak terlalu mencolok dan pastinya membuat kain tenun Suku Dayak Iban menjadi semakin cantik dan terlihat istimewa.
Yang terpikirkan oleh saya, kalo pewarnaannya itu alami, maka dapat meminimalisir pula efek alergi misalnya kepada penggunanya ya. Lebih aman
Pewarnaan alami ini masuknya teknik yang ramah lingkungan ya! Kayaknya semua industri tekstil perlu nerapin ini deh