Apakah kita membayangkan jika suatu saat nanti bahan bakar fosil seperti bensin untuk motor kita kendarai atau gas untuk memasak sehari-hari habis terpakai? Jika habis, apa yang akan kita lakukan?

Apakah kita akan bersepeda lagi dan kembali lagi seperti dulu? Sepeda atau motor listrik memang bisa jadi alternatif, tapi apakah mampu bertahan jauh dan lama sampai ratusan kilometer sekali jalan? Sementara saat digunakan, tidak mungkin kan sambil di cas seperti handphone?

Untuk urusan memasak, jika ketersediaan gas habis, apakah kita akan menggunakan kompor listrik yang kemudian konsumsi listrik menjadi sangat boros. Atau kembali pakai kayu bakar?

Kita ini hidup di Negara berkembang dimana masih bergantung dengan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil seperti bensin untuk kendaraan atau gas untuk memasak. Dan setiap hari bahan bakar fosil tersebut terus digerus dan tidak bisa didaur ulang.

Mungkin sekarang kita belum merasakannya karena ketersediaan masih ada. Walaupun mungkin hanya tinggal sedikit. Namun suatu saat ia akan habis dan entah bagaimana cara mengakalinya.

Apakah manusia akan kesulitan menghadapi hal ini?

Nah, beberapa waktu lalu saya baru saja mengikuti webinar tentang bahan bakar nabati atau biofuel bersama Eko Blogger Squad yang menghadirkan narasumber berkompeten. Yaitu Mas Kukuh Semodho selaku Program Assistant Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan. Dan juga Ricky Amukti selaku Engagement Manager Traction Energy Asia.

Blogger-Gathering-Tentang-Biodiesel.

Di webinar ini kami banyak menadapatkan masukan tentang biofuel atau bahan bakar nabati. Namun sebelumnya kita cari tahu dulu apa itu biofuel atau bahan bakar bakar dari bahan alam tersebut.

 Apa-itu-biofuel

Dari gambar di atas, kita bisa tahu bahwa biodiesel adalah bahan bakar yang terbuat dari alam, bukan dari bahan bakar fosil. Baik itu dari tumbuhan atau hewan. Namun lebih banyak dan lebih cenderung yang digunakan yaitu dari alam.

Kalau kata mas Kukuh, biofuel bisa berasal dari tanaman pangan seperti, jagung, tebu, jarak, kemiri sunan, dll, yang merupakan turunan pertama yang diolah jadi biofuel. Untuk turunan kedua, biofuel bisa berasal dari sekam padi, bonggol jagung, dll. Sedangkan untuk turunan ketiga bisa berasal dari mikroalga dan sejenisnya.

Biofuel juga bisa berasal dari kotoran hewan seperti sapi atau kotoran manusia yang diubah menjadi bio gas untuk memasak. Mungkin kita pernah melihat kompor gas dari kotoran hewan, itulah bio gas. Dan biogas seperti ini tidak menimbulkna bau. Ya soalnya saya pernah menyaksikan sendiri.

Konsep biofuel ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 80an, namun di Indonesia baru muncul sekitar tahun 2006. Dimana ada inisiasi program BBN melalui kebijakan energi nasional, kemudian inpres 1/2006, dan timnas BBN.

Pada tahun 2008 dibuatlah roadmap tentang BBN. Dimana ada kewajiban pembauran energi yaitu pencampuran bakar nabati dengan bahan bakar fosil, dari mulai B10, B20, B30 dst. Kalau kalian tahu dengan bio solar di pombensin dengan kode B10, B20, B30, itulah biofuel.

Apa maksud dari B10, B20, B30?

B10, B20, dan B30 adalah angka atau volume dari sebuah biofuel. Semisa dalam 100% liter bahan bakar, terdapat 10%, 20%, atau 30% bahan bakar nabati atau biofuel, sesuai kode tersebut. Semoga saja nanti Indonesia bisa sampai pada tahap 100% biofuel.

Potret-kebijakan-bahan-bakar-nabati-nasional

Dan kemudian di tahun 2015 ada target mencapai B30. Namun tentu saja proses ini dilakukan secara bertahap mulai dari B10, B20, B30. Dan tahun tersebut mulai dilakukan implmentasi kebijakan B30 tersebut.

Di tahun 2016, kebijakan biofuel ini juga muncul dalam NDC (nationaly determine contribution) pertama Indonesia. NDC yaitu dokumen komitmen iklim yang dideklarasikan oleh suatu negara untuk ikut dalam penurunan emisi global.

Dalam dokumen tersebut, BBN dianggap sebagai suatu strategi dalam menurunkan emisi di Indonesia. Kemudian di tahun 2021 muncul kembali NDC versi update untuk menurunkan emisi.

Lalu, bahan bakar nabati atau biofuel ini fungsinya untuk apa sih? Apakah untuk mengamankan bahan bakar atau komitmen iklim? Kalau menurut mas Kukuh , fungsinya di keduanya.

 bahan-bakar-nabati

Kalau pada peraturan pemerintah nomor 5 tahun 2006, disebutkan bahwa BBN dibentuk untuk memenuhi kebutuhan energi secara nasional. Sedangkan pada Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN, kebijakan BBN ditujukan untuk mencapai kemandirian energi.

Jadi, dulu Indonesia dikenal sebagai negara yang memproduksi minyak sangat banyak. Namun sekarang menjadi net importer karena ada penurunan produksi. Net importer berarti mengimpor lebih dari yang Indonesia bisa ekspor.

Khawatirnya, naik turunnya harga minyak nasional berpengaruh terhadap kestabilan harga minyak dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan BBN itu dilakukan sebagai strategi mengamankan ketika harga minyak dunia naik, agar kita gak terlalu terimpilkasi.

Dan seperti kita ketahui bersama, penyumbang emisi Gas Rumah Kaca atau GRK adalah sektor FOLU atau lahan dengan adanya pembukaan lahan. Pembukaan lahan ini pada prosesnya seringkali menimbulkan kebakaran yang menyebabkan asap. Baik yang disengaja atau tidak, polusi dari kebakaran hutan menyumbang pemanasan global dan perubahan iklim.

Profil-gas-rumah-kaca-di-Indonesia

Namun selain itu, ada juga sektor energi yang terkait bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil seperti bensin pada kendaraan akan menimbulkan asap. Karena jumlah kendaraan di Negara kita sangatlah banyak dan terus bertambah, Indonesia menjadi salah satu Negara penyumbang karbon terbesar di dunia urutan ke delapan. 

Baca Juga : Kaitan Erat Pandemi vs Kebakaran Hutan dan Lahan! Kok Bisa Sih?

 10-negara-penyumbang-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-by-katadata

Sumber : World Resource Institute Indonesia via katadata

Maka dari itu, kesadaran dan perilaku bijak kita untuk menggunakan bahan bakar fosil sangat penting dilakukan agar ketahanan energi tetap terjaga.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga ketahanan energi?

Salah satu hal yang bisa dilakukan yaitu seperti menggunakan kendaraan umum, bersepeda, jalan kaki, ketimbang kendaraan pribadi untuk mengurangi konsumsi bahan bakar.

Karena mungkin kita masih ragu untuk menggunakan biodiesel pada kendaraan kita, karena khawatir tidak cocok dan malah terjadi kerusakan. Secara, biodiesel masih sangat jarang dan belum jelas keamanannya pada kendaraan.

Kebijakan BBN dan pembukaan lahan

Di tulisan sebelumnya saya sudah banyak membahas tentang perubahan iklim akibat kebakaran hutan. Dimana banyak sekali luas hutan yang berubah menjadi perkebunan, seperti kelapa sawit misalnya, yang pada prosesnya menimbulkan polusi penyumbang gas rumah kaca atau GRK.

Kelapa sawit memiliki banyak sekali manfaat dalam setiap lini kehidupan. Mulai dari bahan pangan hingga kebutuhan lainnya. Semisal dalam kehidupan sehari-hari, minyak kelapa sawit berperan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga : Lindungi Lahan Gambut, Lindungi Fauna Indonesia

Untuk bahan makanan, ia bisa ditemukan dalam margarin karena bebas lemak trans atau lemak jahat. Untuk produk sabun, ia dapat menjaga kulit tetap bersih dan lembab.

Pada produk lipstick, kandungan kelapa sawit membuat lipstik dapat dengan mudah dipakai dan dihapus, namun dapat mempertahankan warna yang mencolok dan tekstur yang mengkilap.

Dan tentu saja, karena kelapa sawit juga banyak berperan dalam biofuel atau bahan bakar nabati ini. Untuk 5% kontribusi BBN terhadap campuran bauran energi nasional pada 2025, potensi penambahan lahan dibutuhkan seluas 5,15 juta hektar.

Sedangkan skenario bahan bakar type B20 pada 2025, diperlukan luas lahan 338ribu hektar. Dan kebutuhan tersebut meningkat untuk type B30 dan B50 dengan kebutuhan lahan seluas 5,2 juta dan 9,2 juta hektar lahan di tahun yang sama.

kebijakan-bahan-bakar-nabati-dan-pembukaan-lahan

Hal ini dikarenakan biofuel di Indonesia difokuskan menjadi biodesel. Dan seperti yang dikatakan di atas, biodeiesel disebutkan bahwa bahan pembuatan yang paling mudah yaitu dari kelapa sawit.

Dan, apakah kebijakan BBN ini sejalan dengan komitmen iklim?

Jika dibandingkan dengan solar biasa, biodiesel dari kelapa sawit dapat memperbaiki emisi HC (Unburned Hydrocarbons) sebesar 20%, karbon monoksida sebesar 25%, dan particullar matter sebesar 43% untuk skenario biodiesel B100.

Namun biodiesel pada kelapa sawit diperkirakan dapat meningkatkan emisi nitrogen oksida sebanyak 0,8% setiap 10% bauran jika dibandingkan dengan soalr biasa. Baik pada mesin kendaraan lama ataupun baru. Dan efeknya lebih terasa pada kendaraan baru dan bahan bakar dengan kandungan sulfur rendah.

Tapi, keselarasan bahan bakar alam ini jika dikaitkan dengan perubahan iklim, bukan hanya karena dalam penggunaanya menghasilkan lebih banyak emisi atau tidak. Tapi dampak deforestasi juga harus diperhatikan dalam menganalisis apakah kebijakan BBN sejalan dengan komitmen iklim Indonesia.

Baca Juga : Pentingnya Menjaga Hutan Sebagai Sumber Pangan

Hal itu karena Uni Eropa sendiri menganggap bahwa biodiesel dari kelapa sawit ini dalam praktiknya memproduksi emisi GRK 3x lipat karena deforestasi.

Biodiesel juga bisa berasal dari minyak jelantah

Selain minyak sawit, minyak jelantah yang tentunya banyak tersedia dirumah kita pun bisa bermanfaat sebagai biodiesel. Minyak jelantah dapat diubah menjadi bahan bakar kendaraan.

Di kota-kota besar, kita bisa menemui agen-agen penjual minyak jelantah. Menurut Kak Ricky, untuk satu liter minyak jelantah bisa dihargai antara 2 ribu sampai 10 ribu. Jadi jangan dibuang ya karena ia akan meresap ke tanah dan mencemari lingkungan.

Di Indonesia sendiri, konsumsi minyak goreng pada 2019 lalu sebanyak 13 juta ton atau sekitar 16,2 juta kiloliter dengan potensi untuk menjadi biodiesel sebanyak 3,24 juta kilo liter ( dengan konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel). Namun pada kenyataanya minyak jelantah yang terkumpul hanya 1,6 juta kilo liter dari rumah tangga perkotaan.

Konsumsi-minyak-goreng-sawit-dan-minyak-jelantah-yang-dihasilkan-di-Indonesia

Dari pembahasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa bahan bakar fosil akan terus berkurang karena terus digunakan. Apalagi ia tidak bisa di daur ulang. Jika sudah habis, entah apa yang akan terjadi.

Maka dari itu, kita harus bijak menggunakannya selagi pemerintah menyiapkan skenario bahan bakar nabati biofuel untuk menggantikan bahan bakar fosil. Semoga saja suatu saat nanti kita sampai pada biofuel B100. Yang artinya bahan bakar yang digunakan murni dari alam, namun pada prosesnya tidak menimbulkan kerusakan alam.

Sumber referensi artikel :

Presentasi power point dari Mas Kukuh dan Mas Ricky

Website Madani Berkelanjutan