Iqbal, petani milenial binaan PT. Pupuk Kaltim. Foto : demfarm.id
Jika bicara bertani, melihat kenyataan zaman now saat ini, banyak anak muda yang enggan bercita-cita menjadi petani. Alasannya tentu saja karena bertani identik dengan kemiskinan, pengasilan minim, kotor-kotoran, rendahnya pendidikan, dan asumsi negatif lainnya.
Anak muda zama sekarang cenderung lebih memilih impian bergengsi seperti CEO popular, trader saham, youtuber, influencer, dan sebagainya. Bukan menjadi petani.
Bahkan yang anak petani pun, mulai dari anaknya sendiri sampai orang tuanya seringkali tidak menganjurkannya jadi petani. Padahal potensi pertanian sangat besar di Negara zamrud khatulistiwa ini.
Petani zaman dahulu dengan sekarang tentu saja beda. Jika petani generasi orang tua kita lebih condong ke kerja keras, maka petani milenial lebih condong ke riset dan persiapan dengan berbagai ilmu sebelum memulai, agar hasilnya lebih maksimal.
Dengan kata lain, petani milenial lebih condong ke kerja cerdas sehingga hasilnya lebih maksimal tanpa terlalu memeras keringat. Mereka lebih suka bekerja berdasarkan data dan riset ketimbang main “trabas” saja.
Saya punya seorang tetangga, beliau masih muda seumuran saya, sebut saja Havid. Dulunya ia adalah seorang wirausaha. Ia memiliki warung dan usaha WiFi atau voucher internet. Ia sendiri adalah seorang generasi sandwich yang harus menghidupi keluarga dan orang tua tunggalnya.
Namun karena semakin kesini pengguna internet sudah semakin banyak dan banyak dari warganya sudah pasang sendiri, saya lihat usahanya kian menurun. Tower sebesar sutet yang ia pasang senilai puluhan juta saat ini sudah tidak dipakai lagi.
Sejak saat itu ia mencoba membuka usaha dengan bertanam hidroponik. Tanaman yang ia tanam yaitu daun selada, pokcoy, kangkung, kembang kol, dan beberapa yang lainnya.
Tanaman selada yang ditanam secara hidroponik milik Mas Havid. Foto : Havid
Kalau saya lihat, setiap panennya seperti tidak ada atau bahkan jarang sekali gagal. Padahal sebelumnya, saya tidak pernah tahu apakah ia punya pengalaman bertani hidroponik atau tidak. Dan sepertinya belum. Dan saya pikir ia belajar dari internet.
Dan sepertinya banyak orang terbelalak dengan apa yang ia lakukan. Dari bertani ini, ia berhasil memutus stigma negatif tentang bertani bahwa petani itu identik dengan kalangan bawah dengan baju kotornya dan berpenghasilan rendah dan hidup miskin.
Setiap dua minggu sekali ia panen, ujarnya saat saya menanyakan. Untuk target pasarnya, ia memasarkannya ke café-café dan restoran yang ada di kota saya. Dan saya lihat usahanya cukup lancar tanpa berkubang tanah atau lumpur. Bahkan jika perlu, memakai sepatu atau dasi layakya orang kantoran pun tidak akan mengotorinya.
Ya, petani milenial adalah petani yang melek tekhnologi yang lebih senang bekerja dengan system ketimbang tenaga. Mereka bisa mengintegrasikan teknologi dengan pertanian sehingga hasilnya lebih maksimal seperti pertanian di Negara-negara maju
Petani milenial memang lebih maju karena yang ia lakukan penuh dengan riset dan persiapan. Makannya, peranan petani milenial sangat penting bagi masa depan. Mengenai hal tersebut, berikut ini adalah 4 perubahan besar yang akan terjadi jika petani milenial mendominasi di masa depan.
Tekhnologi pertanian seperti ini akan jauh memudahkan proses pertanian untuk hasil yang maksimal dan jauh lebih bagus. Foto: https://pixabay.com/photos/spraying-sugar-cane-sugar-cane-2746350/
Saat ini model pertanian konvensional masih terpaku versi konvensional karena kebanyakan petani adalah generasi orang tua kita. Seperti misalnya masih menggunakan cangkul atau traktor saat pengolahan tanah.
Saat panen pun, kebanyakan petani masih manual. Seperti penggunaan mesin rontok padi. Atau gebugan, semacam alat dari kayu untuk merontokkan padi dengan cara memukul-mukulkan gulungan padi ke alat tersebut.
Tentu saja ini sangat tertinggal jika kita melihat tekhnologi pertanian di luar negeri dimana banyak menggunakan tekhnologi untuk pertanian. Mulai dari pengolahan tanah sampai proses pemanenan.
Jika di Indonesia, proses panen masih manual menggunakan tangan yang memakan waktu sangat lama, maka di luar negeri sudah banyak menggunakan mesin sehingga bisa jauh lebih cepat tanpa berkotor-kotoran.
Untuk proses pemanenan pun, saya pernah melihat saat penyemprotan padi di Jepang dengan menggunakan helikopter kecil yang dikendalikan dengan remot. Tentu saja ini sangat memudahkan dan prosesnya sangat cepat. Sedangkan di Indonesia masih menggunakan tangan alias masih manual.
Alat pertanian canggih seperti ini tentu saja sangat familiar sekali dengan anak muda karena memang millennial sangat erat kaitannya dengan tekhnologi.
Melalui tekhnologi pertanian, seseorang juga mengetahui jenis dan kondisi tanah yang baik seperti apa, sehingga bisa disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan ditanami nantinya.
Ilmu pertanian di perkuliahan juga mempelajari bagaimana memasarkan suatu produk dengan tepat melalui tekhnologi informasi, sehingga akan lebih cepat laku terjual. Dengan tekhnologi pertanian seperti ini, tentu hasilnya lebih besar, namun lebih hemat dari berbagai sisi.
2. Petani milenial berpotensi besar mensejahterakan masyarakat sekitar
Saat ini saja ada banyak petani milenial sukses yang mampu mensejahterakan masyarakat sekitar. Misal seperti Meybi Agensia Lomanledo, petani kelor dari NTT yang berhasil mengubah kelor jadi produk bernilai tinggi.
Dari harga kelor yang tadinya harga 5 ribu per ikat, jadi 30ribu per ikat melalui produk coklat dan teh-nya. Oleh karenanya, ia pun berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Selain itu, saya juga pernah membaca artikel tentang seorang anak muda lulusan pertanian yang berhasil membuat sebuah produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis, padahal dari sesuatu yang merugikan berupa hama tanaman.
Jadi, sang anak muda berhasil mengubah hama tanaman yaitu keong atau siput yang merupakan hama tanaman padi. Keong ini akan memakan batang padi yang baru ditanam dan cukup merugikan petani.
Namun oleh sang pemuda yang kalau tidak salah bernama Ahmad, diubah menjadi keripik yang benilai jual. Dari situ, banyak warga yang kemudian mencari hama padi ini untuk dijual ke Ahmad dan diubah menjadi produk bernilai ekonomis, disamping membasmi hama tanaman.
Kalau tidak salah, setiap satu karung dihargai 50 ribu. Tentu ini ekonomis sekali dan sangat membantu masyarakat.
Selain kisah di atas, tentu saja saat ini banyak petani millennial lain yang berhasil meraup keuntungan besar dari bertani dan justru dapat membuka lapangan pekerjaan. Karena model petani zaman sekarang lebih condong tekhnologi untuk melakukan riset, agar hasil pertanian makin melimpah dan berkualitas.
3. Mampu memaksimalkan potensi pertanian yang ada
Kebun tomat petani modern dengan memanfaatkan lahan sempit. Foto : https://pixabay.com/photos/tomatoes-vegetables-vegetable-936520/
Millenial adalah generasi yang kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ilmu pertanian yang dipelajari baik secara otodidak melalui tekhnologi informasi ataupun saat dibangku kuliah, membuatnya bisa memahami suatu permasalahan pertanian dengan lebih baik. Sehingga bisa tahu dimana “sela-nya” untuk kemudian dicarikan solusinya.
Misalnya seperti tanaman seperti cerita mas Ahmad di atas. Atau mas Rahmat tetangga saya yang menjadi wirausaha desa berkat pertanian hidroponiknya yang produknya bisa menembus café-café dan restoran. Padahal hanya menggunakan lahan sempit.
Seorang petani milenial dengan ilmu pertanahan atau ilmu hama yang didapat saat kuliah, atau yang tidak sekolah dan hanya belajar lewat internet, bisa memahami bagaiamana kondisi suatu tanah atau kadar airnya.
Sehingga bisa tahu apa tanaman apa yang cocok untuk kondisi tanah tersebut. Hal tentu yang mungkin tidak dilakukan oleh petani konvensional generasi orang tua kita yang masih jauh dengan tekhnologi.
Salah satu contohnya adalah Mas Iqbal yang akan hadir dalam webinar yang akan dijelaskan di bawah. Iqbal adalah petani milenial yang dalam satu tahun bisa 4 kali panen dengan masa tanam 60 hari.
Saat ini, kelompok tani yang dikelolan Mas Iqbal berjumlah 100 orang. Bukankah ini membuktikan kalau petani millenial tidak seperti petani zaman dahulu dan dapat memutuskan stigma negatif bertani?
4. Lebih mampu menjaga ketahanan pangan
Ketahanan pangan Indonesia ada di tangan milenial. Dokpri
Indonesia adalah zamrud kathulistiwa. Negara dengan sumber daya alam yang kaya dan subur. Kalau dalam liriknya koes ploes “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” merupakan cerminan dari betapa suburnya Negara kita ini, terutama dengan hasil padinya.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa beras di Indonesia selalu impor? Dan saya berpikir jika salah satunya penyebabnya adalah gagal panen. Ya, di tempat saya sendiri, seringkali mengalami gagal panen.
Dan salah satu penyebabnya adalah serangan hama seperti walang sangit atau hama wereng yang dalam beberapa hari saja, padi bisa ludes habis. Dan itu pernah terjadi ditempat saya. Dan di sini peran petani millennial sangat penting perannnya guna menemukan inovasi baru terkait masalah tersebut.
Di ilmu pertanian dalam perkuliahan, juga mempelajari ilmu pengendalian hama yang tentu saja sangat bermanfaat untuk menghasilkan solusi seperti jenis pupuk yang cocok, atau cara lainnya.
Nah….
Bicara mengenai petani milenial, pada 28 November yang bertepatan dengan hari nenaman pohon nasional, saya juga berkesempatan untuk hadir dalam webinar dan yang diadakan oleh demfarm.id dengan tema
“Cerita Petani Millenial Mendapat Berkah dari Kebun”
Yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta dari berbagai kalangan. Seperti blogger, jurnalis, masyarakat umum di wilayah Indonesia. Untuk narasumber sendiri yaitu dari praktisi berkompeten dalam bidang pertanian seperti :
1. Andrian R.D Putera yang merupakan Project Manager Program Makmur Pupuk Kaltim
2. Mas Iqbal yang merupakan Perwakilan Petani Milenial Binaan Pupuk Kaltim dari Jember, Jawa Timur
3. Soraya Cassandra selaku Founder dari Kebun Kumara
Sebelum webinar dimulai, Kak Khairunnisa selaku hostnya, mengajak kita semua untuk bersam-sama menanam pohon dengan menggunakan pot kecil yang kita dapat dari demfarm.id. Ini kita lakukan untuk merayakan hari November yang jatuh di hari tersebut.
Dari webinar yang menghadirkan banyak peserta yang kebanyakan suka bertanam ini, ada banyak masukkan yang bisa didapat. Dalam webinar ini, Bapak Adrian Putera dari PT. Pupuk Kalimantan Timur memaparkan tentang program yang mendukung pertanian millennial melalui program makmur.
Program ini nantinnya akan menjadi solusi petani millennial agar mereka bisa bekerja dengan cara-cara baru yang lebih inovatif dan meninggalkan cara-cara lama, sehingga potensi penghasilannya lebih besar.
Karena sejatinya pertanian yang dilakukan oleh generasi terdahulu belum atau masih sedikit menerapkan cara inovatif atau smart farming, sehingga hasilnya tidak atau belum maksimal.
Misalnya ditempat saya sendiri, dulu pernah ada traktor inovatif buatan anak muda yang dikendalikan oleh remote, sehingga tak perlu kotor-kotoran dalam dan berpeluh keringat. Namun karena ada pihak yang tidak terima karena pastinya enggan tersentuh tekhnologi, mesin traktor tersebut dicuri dan akhirnya kembali ke manual.
Nah, implementasi dari program makmur ini juga terbukti meningkatkan produktivitas petani dengan peningkatan komoditas jagung sebesar 42% dan padi 34%. Dari keuntungan petani pun juga mengalami peningkatan. Untuk petani jagung sebesar 52% dan petani padi sebesar 41%.
“Jadi program makmur ini berlaku untuk semua petani, termasuk petani millenial. Harapan kami akan semakin banyak petani muda yang memajukan pertanian di daerah masing-masing sehingga cita-cita ketahanan pangan nasional bisa kita tercapai. Sektor ini butuh tenaga millennial,” katanya.
Dan, salah satu petani millennial yang mendapat dukungan dari program makmur ini yaitu Mas Iqbal, seorang sarjana pertanian dari Jember, Jawa Timur, yang saat ini berprofesi sebagai petani. Dan menjadi narasumber di webinar ini.
Mas Iqbal mengatakan jika keputusannya menjadi petani adalah untuk memutuskan stigma buruk masyarakat tentang profesi petani. Menurutnya, menjadi petani itu selain harus ulet dan tekun, juga harus ada regenerasi.
Apalagi di zaman modern ini turut mendukung peluang besar bagi petani milenial dan mengambil ceruk pasar yang sangat besar yang bisa dilakukan oleh petani millenial lewat inovasi dan dan cara-cara baru yang kekinian.
Mas Iqbal juga mengatakan bahwa bertani butuh modal ilmu. Seperti strategi pasar dan mengimplementasi tekhnologi pertanian. Sehingga pekerjaan bertani bukan hanya menjadi pekerjaan berat semata.
Beliau juga menambahkan bahwa menjadi petani itu harus tau pasarnya dan memiliki strategi dari awal. Jika kita sudah paham dengan tekhnologi pertanian, peluang untuk sukses pun lebih besar. Dan itulah yang mendasarinya untuk memutuskan menjadi petani millenial.
Nah, untuk narasumber berikutnya yaitu founder Kebun Kumara, Kak Soraya Cassandra, juga menyampaikan paparan senada. Ia mengatakan bahwa menjadi petani milenial bisa dilakukan dari rumah sendiri guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ia juga menambahkan jika Kebun Kumara yang ia buat juga untuk mengajak lebih banyak anak milenial untuk gemar berkebun dari rumah dan membiasakan diri melakukan kebaikan, baik untuk diri sendiri atau bumi tempat tinggal kita.
Mengenai tips berkebun, ia juga memberikan tips berkebun agar tanaman kita terhindar dari hewan-hewan liar yang dapat mengganggu tanaman. Seperti serangga atau burung, yaitu dengan menanam tanaman pengalih. Seperti tanaman basil, pohon kemangi, atau tanaman wangi-wangian lainnya.
Tentang Demfarm.id
Demfram adalah portal informasi yang berisikan artikel-artikel seputar tips pertanian, tips bercocok tanam, seputar petani milenial, hinggga kisah sukses menjadi petani, bahkan hingga cerita artis yang berprofesi sebagai petani milenial. Di sini juga terdapat artikel tentang cerita Mas Iqbal yang menjadi petani milenial.
Demfarm sendiri berasal dari semangat positif berkelanjutan untuk mendukung pertanian Indonesia lewat konten yang mendidik dan informatif mengenai pertanian, pupuk, dan info pangan.
————————————
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi petani milenial sungguh teramat berbeda dengan petani konvensional yang masih menggunakan cara-cara lama. Petani milenial mengadopsi teknologi dan cara-cara terbaru untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal.
Identiknya petani dengan stigma negative seperti diatas saya tuliskan adalah karena penggunaan cara-cara lama dan enggan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sehingga hasilnya monoton dan kurang berkembang seperti Negara-negara maju.
Dan melalui webinar ini, kita bisa tahu bahwa menjadi petani milenial memiliki potensi besar untuk mendapatkan profit melimpah dan dapat menjadi pekerjaan bergengsi layaknya orang-orang kantoran, serta dapat menjaga ketahanan pangan melaui cara-cara baru yang inovatif dengan memanfaatkan tekhnologi pertanian. Karena di zamrud khatulistiwa ini, “tongkat kayu dan batu bisa diubah jadi tanaman”.
Wkwkwkw.. kadang saya suka merasa lucu kalau ada petani (apalagi termasuk sukses di bidangnya), yang kemudian menyarankan untuk tidak menjadi petani, seperti yang ditulis kang Amir ini.
Lhah, bukannya dari hasil sebagai petani, Ia lalu dapat mencukupi semua kebutuhan, termasuk sekolah tinggi untuk mewujudkan mimpi terbaru?
Semoga demfarm ini bisa meminimalisir hal tersebut, dan membuktikan bahwa menjadi petani adalah ciri khas bangsa kita. Banyak hal yang justeru terwujud karena keberhasilan pertanian.
Pas baca terus ngeliat sawi pakcoynya langsung bergumam, enak banget ini pasti kalau dimakan bareng penyetan kelihatan seger banget. Apalagi kalau ada platfom menarik speerti demfarm.id bisa membantu memasarkan produk-produk petani milenial ini, dan yang paling penting mungkin saja bisa memutus rantai tengkulak yang manjadi momok para petani hari ini.
Keren banget ya, petani milenial ini
Sebenarnya klo diolah secara modern, pertanian bisa menjadi hal yg sangat menjanjikan ya
Bagus sekali jika banyak petani yang melek teknologi. Di sekitar saya masih banyak petani yang cenderung melakukan aktivitas secara tradisional dan jika ingin belajar pun dirasa kesulitan. Semoga bisa makin optimal dalam mengakses informasi dan teknologi yang bermanfaat ke depannya.
Petani saat ini sudah bukan lagi pekerjaan kasta rendah, saya setuju. Karena hanya petanilah yang mampu bertahan ditengah krisis global begini, saat pariwisata anjlok, semua terjun jadi petani. Apalagi jika sekarang banyak banget teknologi2 yang bisa mempermudah pekerjaan petani, seperti teknik hidroponik.
Indonesia itu negara agraris, semestinya sektor pertanian dapat perhatian. Saya berharap Indonesia kayak Jepang. Di sana banyak yang gak malu jadi petani termasuk anak mudanya. Peralatannya juga banyak yang modern.
bagus juga ya ada demfarm ini bisa dapat literasi soal pertanian yang valid. dan memang buat milenial menjadi pondasi untuk meremajakan pertanian ya.
Ya tidak dimungkiri yang namanya petani identik dengan generasi tua. Padahal Indonesia kan negara agraris yang kaya dengan tanah pertanian. Kalau tidak ada regenerasi bisa berbahaya, kita tidak bisa swasembada pangan. karena itu anak-anak muda juga harus turun tangan dalam pertanian.
Keren banget ya mas Iqbal, satu tahun bisa sampai 4 kali panen. Dari sini milenial bisa lihat kalau bertani punya peluang yang bagus sebagai sumber penghasilan
Tanpa petani dapat darimana kita sayur mayur yang segar yang bisa kita konsumsi setiap hari. Iya gak sih. Dunia pertanian sekarang semakin inovatif ya
Bertani dan memberi informasi lengkap kesuksesan mereka dengan inovasi dan supporting memungkinkan hasil akan maksimal dalam bertani, contohnya banyak juga yang berhasil.
Semoga makin banyak petani yang bisa merasakan manfaat dari program makmur ini. Sehingga makin banyak petani sukses dan tidak dipandang sebelah mata lagi.
Sekarang petani jadi lebih modern ya. Dulu di tempat ku asal tanam aja. Tp sekarang jadi lebih maju. Semoga kedepannya para petani jadi lebih maju
Benar-benar membuka pikiran ya mas ttg kisah2 petani milenial di sini, bahwa petani gak bisa dipandang sebelah mata karna bisa sukses dan berdampak besar, bahkan sampai ke luar negeri jga, keren…
Memang ya generasi milenial itu generasi yang kreatif dan produktif. Mulai berharap suatu saat pertanian di Indonesia bisa semaju di negara-negara tentangga.
huwaaa keren banget mas Dedy yaa, mulai dari jualan bibit dan kale bisa go internasional gitu. emang sih yaa, mau ga mau kan regenerasi pertanian ini harus terus berlanjut, masanya orang tua kita sebagai petani udh masuk masa rehat, mesti dilanjutkan sama anak-anak muda, generasi milenial. Yang menjadi tantangan dan peluang bersama kan generasi milenial udh terbuka sama teknologi, internet, jadi bisa combine banget tuh ya skill set pertanian tradisional dan modern sama promosi nya pun bisa via digital till go international
Selain karena tidak mau berkotor-kotoran, rata-rata anak muda tidak mau jadi petani karena budaya priyayi. Artinya, budaya ingin dilayani atau merasa gengsi. Makanya, kebanyakan mereka masih berpikir untuk menjadi pegawai kantoran. Yah, budaya semacam itu perlu diberikan contoh dengan adanya petani milenial macam di atas tersebut.
Memang, sudah banyak sosok-sosok muda, di bawah 39 tahun yang punya prestasi luar biasa sebagai petani milenial. Mereka menjadi inspirasi yang bagus bagi gen milenia lainnya, makanya harus sering dibantu memperkenalkan.
Setuju dengan argumen kak Susindra, bahwa anak milenial jangan takut untuk menjadi petani. Kalo sudah tahu caranya nanti juga gampang bisa bisnis di industri agrowisata dll.
Aku udah beberapa kali coba nanam di rumah pakai pot kecil tapi selalu aja berakhir mati, kayaknya memang harus belajar banyak lagi deh gak cuma asal tanam dan siram doang. Nah kebun kumara itu salah satu yang bikin aku tertarik, suatu hari harus bisa menanam di rumah sendiri. Aku banyak belajar dari kebun kumara. Bertani itu kan gak mesti punya sawah luas dulu.
Skrg juga banyak marketplace sayur dan buah yang membantu petani menjual hasil panennya langsung ke konsumen, dan kita bisa bantu dengan membelinya.
Pentingnya mengembangkan para petani menjadi lebih paham digital ya. Jika semakin banyak milenial yang mau terjun tentu semakin membuat bidang pertanian semakin maju. Penggunaan teknologi pun semakin memudahkan pekerjaan bertani.
sektor pertanian emang jarang dilirik, di minati saja tidak. emang kurang keren. tapi bagi saya keren, karena saya lulusan pertanian, hehehe. saya rasa karena awareness terhadap ini juga masih kurang ya. webinar seperti yang diadakan demfarm ini bagus. saya sih berharap kedepannya makin banyak ya event seperti ini. karena saya juga menulis blog tentang pertanian. oh iya, kalau ada eventserupa, colek saya ya kak
Dulu tuh saya sempat berpikir : “seandainya anak-anak muda yang kuliah di pertanian bisa fokus ke dunia pertanian itu sendiri, bukan ke bank atau industri lainnya, pasti Indonesia akan jadi negara yang makin maju pertaniannya. Dengan adanya demfarm ini, semoga makin banyak anak muda Indonesia yang bisa jadi petani millenial untuk meningkatkan kehidupan pertanian dan kesejahteraan masyarakat dengan ilmunya.
Lihat Mas Iqbal jadi ingat tetehku di kampung. Saat tanaman kelapa sawitnya peremajaan dan masa replanting, gak ada penghasilan, si teteh langsung berkebun semangka di lahan tersebut. Wuuuuuiiiiih, penghasilannya masya Allah. Siapa bulang jadi petani gak bisa kaya.
Salut untuk Pupuk Kaltim yang mendukung petani-petani milenial mengembangkan bakat dan usahanya.
Petani milenial emang nggak lagi identik dengan kotor-kotor kok. Banyak teknologi pertanian saat ini. Memanfaatkan halaman rumah. Meski tanpa lahan. Ya, salah satunya dengan sistem hidroponik itu.
Salut dan angkat jempol buat anak-anak muda yg mau jadi petani
bangga dengan anak-anak jaman sekarang yang memilih bidang pertanian karena idealisme selain untuk memajukan sektor pertanian indonesia yang sudah mulai tersisih sekarang juga karena ingin mewujudkan ide ide yang dapat membawa perubahan besar dalam dunia pertanian.
Termasuk adanya demfarm.id yang bisa menjadi sumber informasi selain bagi petani juga kalangan umum.